Keberadaan
hak angket diatur dalam Pasal 20A ayat (2) UUD 1945 dan kemudian ditegaskan
kembali dalam Pasal 27 UU Nomor 22 Tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan
MPR, DPR, DPD dan DPRD dan Pasal 176-183 Peraturan Tata tertib DPR. Walaupun
Pasal 20A ayat (4) UUD 1945 menegaskan bahwa ketentuan lebih lanjut mengenai
hak DPR itu akan diatur dalam undang-undang, namun UU Nomor 22 Tahun 2003 tidak
mengatur secara rinci tentang pelaksanaan dari hak angket itu.
Undang-undang
yang mengatur penggunaan hak angket ialah UU Nomor 6 Tahun 1954 tentang Hak
Angket Dewan Perwakilan Rakyat. UU ini berasal dari zaman sistem pemerintahan
parlementer di bawah UUD Sementara Tahun 1950, namun sampai sekarang belum
pernah dicabut. Mahkamah Konstitusi melalui putusannya tanggal 26 Maret 2004
telah menegaskan bahwa UU Nomor 6 Tahun 1954 itu masih berlaku berdasarkan
ketentuan Pasal I Aturan Peralihan UUD 1945. Dengan demikian, tidak ada
keraguan apapun untuk menggunakan ketentuan-ketentuan dalam UU Nomor 6 Tahun
1954 itu untuk melaksanakan hak angket DPR. Penerapannya tentu harus
mempertimbangkan sistem pemerintahan presidensial yang kini berlaku di bawah
UUD 1945.
Hak
Angket disebut juga sebagai hak penyelidikan, karena hak ini memang dimiliki
oleh DPR untuk menyelidiki sesuatu yang lazimnya terkait dengan hal-hal yang
terkait dengan masalah keuangan yang menjadi kebijakan Pemerintah. Namun
ketentuan Pasal 176 ayat (1) Peraturan Tata Tertib DPR menegaskan bahwa hak
angket digunakan untuk menyelidiki “kebijakan pemerintah yang penting dan
strategis serta berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat dan bernegara yang
diduga bertentangan dengan peraturan perundang-undangan”. Rumusan ini memang
sangat luas, karena setiap gerak langkah dan keputusan yang diambil Pemerintah
pada dasarnya dapat dikatakan sebagai “kebijakan”. Jadi tidak spesifik terkait
dengan masalah keuangan negara sebagaimana pemahaman teoritis tentang asal
muasal hak angket. Dengan demikian, kebijakan Pemerintah mengurangi subsidi BBM
dengan sendirinya dapat dijadikan sebagai obyek dari hak angket DPR karena
berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat dan bernegara, apalagi kebijakan
itu juga berkaitan dengan keuangan negara. Namun apakah kebijakan itu
benar-benar bertentangan dengan undang-undang sebagaimana dugaan DPR, inilah
yang harus “dibuktikan” melalui penggunaan hak angket itu.
Karena
itu para anggota DPR yang duduk di dalam Panitia Angket, akan bertindak seperti
seorang penyelidik sebagaimana dilakukan oleh penyelidik dari kepolisian dan
kejaksaan dalam menyelidik suatu dugaan tindak pidana. Bedanya, penyelidikan
itu dilakukan oleh politisi untuk menemukan fakta dan “bukti” dari suatu kasus
yang mereka selidiki, dan bukan penyelidikan “pro yustisia” sebagaimana
dilakukan penyelidik polisi dan jaksa. Jadi, menghadapi Panitia Angket DPR,
Pemerintah tidak dapat berpikir sederhana dengan mengatakan “telah siap
menjawab pertanyaan DPR” seperti dikatakan Menteri Keuangan Sri Mulyani dan
Menteri ESDM Purnomo Yusgiantoro. DPR bukan bertanya dan Pemerintah menjawab, melainkan
DPR menyelidiki dan menghimpun fakta-fakta dan bukti-bukti.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar